Jumat, 17 Juni 2011

Komposisi Delapan Cinta

image




















//Kauminta aku menulis cinta/ Aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya/ Kubolak-balik seluruh abjad/
Kata-kata cacat yang kudapat// Jangan lagi minta aku menulis cinta/ Huruf-hurufku, kau tahu, bahkan tak cukup untuk namamu// Sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut kecuali dengan denyut//

Jakarta, CyberNews. Dalam keheningan, sajak Sitok Srengenge berjudul "Menulis Cinta" yang liris itu, dilagukan dengan sangat syahdu dan khusyuk oleh Nyak Ina Raseuki -atau dikenal dengan nama Ubiet- dengan kekuatan vokal yang sangat prima. Tapi, bukan semata sajak yang liris dan penuh kedalaman, serta teknik vokal prima yang menawan. Melainkan pembacaan yang luar biasa dari kejelian Dian HP sebagai komposer, pianis dan akordionislah yang membuat sajak itu, dan tujuh sajak lainnya, plus dua lagu tambahan, yang disajikan dalam pertunjukan Komposisi Delapan Cinta menjadi gelaran magnum opus, karya puncak.
Dian HP bersama Ubiet, dalam konser yang diprakarsai ArtSwara di Nusa Indah Theater, Balai Kartini, Jakarta, Jum'at (3/6) malam, tidak hanya berhenti pada tataran mengagungkan puisi Sitok dan Nirwan Dewanto. Lebih dari itu, dengan memberi nyawa baru pada sajak "Penghujung Musim Penghujan", "Cinta Pertama", "Menulis Cinta", "Kau Angin" yang ditulis Sitok. Dan sajak "Air", "Kuintet", "Wajah", "Merah" karya Nirwan, membuat pertunjukan yang menjual tiket seharga Rp 250.000, menjadi sesuatu yang lain.
Kelainan itu, bukan semata berupa keistimewaan, tapi juga nuansa penghanyutan yang ditimbulkan dari efek musik yang ditimbulkannya. Dian HP yang menyertakan sejumlah musisi yang terlihat sangat "bersahabat" dengan instrumennya masing-masing, seperti Eko Balung (violin), Dimawan Krisnoyo Adji (cello), Donny Sundjoyo (kontra bas), Dony Koeswinarno (flute), Johny Sep (klarinet), Adriansyah (marimba), dan Astrid Lea (piano) menyuguhkan komposisi, yang membuat sajak terkadang bahkan tenggelam oleh kekuatan musik.
Meski dalam beberapa hal, sajak tetap hidup, dan lebih dalam maknanya tanpa ada musik yang mengiringnya sekalipun. Namun dalam perkara pertunjukan Komposisi Delapan Puisi, aransemen yang rapi, dan dalam beberapa diantaranya sangat minimalis, justru menghadirkan musik yang seolah berhasil mengatasi efek pukau sajak.
Meski bukan kali pertama sajak dilaraskan dengan musik, dengan berbagai istilah yang dilekatkan padanya. Seperti nama musikalisasi dan dramatisasi puisi, art-song (lagu berdasarkan lirik puisi atau lagu seriosa, sebagaimana pernah dilakukan Mochtar Embut atas karya Chairil Anwar dan WS Rendra, dan F.X Soetopo atas puisi Kirdjomulyo) serta berbagai istilah lainnya. Tapi Dian HP dan Ubiet dari awal sudah mengatakan, jika apa yang mereka lakukan atas delapan sajak itu, bukanlah proses sebagaimana disebut di atas.
"Komposisi Delapan Cinta bukan musikalilsasi puisi, atau bukan pemberian nada pada puisi. Tapi komposisi berdasarkan puisi," demikian dikatakan Ubiet dari atas panggung, yang juga menghadirkan penataan cahaya yang tertata rapi, dan membuat pencahayaan bagian dari pertunjukan.
Bandingkan, ketika Sita RSD melagukan puisi "Hujan Bulan Juni" milik penyair besar Sapardi Djoko Damono. Atau bagaimana Kyai Kanjeng melagukan puisi milik Emha Ainun Nadjib, atau yang terkini, Sampak Gusuran pimpinan penyair dari Pati, Anis Sholeh Ba'asyin membungkus puisi mereka dengan iringan musik-musik tradisional. Meski mempunyai aras keistimewaannya sendiri, tapi dalam perkara mengkomposisi, Dian HP sampai saat ini adalah terbaik. Hal itu menjadi maklum, karena sebagaimana ditekankan Ubiet bersama Dian HP, mereka tidak mencari makna atas kedalaman kedelapan sajak itu, "Tapi kami mencari bunyi," katanya.
Dengan jalan mencari bunyi itulah, Dian HP yang mempunyai keluasaan pembacaan untuk membesut musiknya seestetis mungkin, berhasil membuat seratusan penikmatnya memberikan standing ovation yang sangat lama, begitu pertunjukan purna. Hingga membuat Mira Lesmana yang duduk berderet dengan Mathias Muchus, Riri Riza, dan Nicolas Saputra, seketika bangkit dari tempat duduknya, begitu Ubiet dan Dian HP menyelesaikan dua lagu tambahan bertajuk "Keroncong Tenggara", dan "Kubaca Tubuhmu".
Demikian halnya penikmat lainnya seperti Andre Hehanusa, Arie Tulang, dan Erwin Guttawa. Setali tiga uang dengan Titi DJ yang berada di belakang panggung. Malam itu, komposisi yang dibangun berdasarkan puisi benar-benar menunjukkan kekuatan dan tajinya. Dia menjadi pembangun jiwa, yang membuat orang yang menyimaknya mengembara pada sebuah wilayah bernama lena. Terlebih Ubiet, yang sangat mahir memainkan tempo, yang rata-rata berjalan lambat, via teknis vokalnya, yang katanya, "Terilhami nyanyian keroncong dan Melayu, dan sedikit atau hampir tanpa vibrato", berhasil menyajikan sebuah teknik vokal, bagaimana semestinya. Suara, seperti menemui rumahnya, ketika dikeluarkan oleh orang berkemampuan mumpuni sekelas Ubiet.
Maka, perkawinan antara kedalaman pemahaman menghasilkan karya sajak dari seorang penyair. Kemudian dipadukan pengalaman yang panjang dari seorang komposer, plus kekuatan teknis seorang pesuara -demikian Ubiet lebih suka menyebut dirinya daripada seorang penyanyi-, membuat Komposisi Delapan Cinta menjadi pertunjukan bermartabat. Yang menempatkan sajak pada posisi agung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar